Di sudut pantai sebuah Ibukota

Entah berapa jenis tatapan yang hadir di bawah atap daun kelapa rumah adat "yeu" itu. Sebagian besar mungkin kagum. Ada yang heran, ada yang merasa aneh. Ada juga tatapan anak gadis yang mendapat boneka Barbie baru.

Mereka semua, menatap pada sosok- sosok kekar dan gelap puluhan dari seratus lima puluh orang suku Asmat dalam sebuah acara menyambut kemerdekaan RI ke-62 di pantai sebuah taman hiburan di Jakarta.

Satu minggu lamanya mereka mempertunjukkan keahlian mereka seperti mengukir patung, menyanyi dan menari dengan tabuhan tifa, dan juga kemampuan mereka mendayung dengan berdiri di atas perahu kayu mereka yang menyerupai kano. Bahkan mereka pun diikut sertakan dalam lomba panjat pinang massal pada tanggal 17 Agustus.

Seni budaya Asmat merupakan salah satu pemikat bagi orang- orang yang rindu akan alam. Kerinduan yang pastinya dirasakan oleh sebagian besar orang yang jauh dengan alam. Orang-orang yang sudah terangkut roda kemajuan zaman.

Sebaliknya, sebagai manusia, suku Asmat pun mendamba kemajuan, kesejahteraan dan pembangunan demi hidup yang layak, seperti di daerah lainnya di negara kesatuan ini.

Dan faktor ekonomi adalah penunjang yang mutlak. Hanya saja kemajuan dalam hal ekonomi akan terasa dilematis jika kemudian hal itu menggeser motivasi berkebudayaan dari suku yang terkenal oleh ukiran uniknya itu. Dalam hal inilah hendaknya pemerintah mengambil peran sehingga suku tersebut mendapat pilihan untuk memajukan perekonomian daerahnya tanpa harus mengorbankan ruh kebudayaaa mereka yang terancam oleh liur komersialisasi.

Hal yang sama mungkin juga dirasakan oleh suku lainnya di Provinsi Papua, yang resmi menjadi provinsi ke-26 Indonesia sejak 10 September 1969.

Foto and Teks: Fanny Octavianus

Lisensi

Pilih lisensi yang sesuai kebutuhan
Rp 3.000.000
Reguler
Editorial dan Online, 1024 px, 1 domain
Rp 7.500.000
Pameran dan Penerbitan
Pameran foto, Penerbitan dan Penggunaan Pribadi