TRADISI RUWATAN

Widodo S. Jusuf

Memasuki tahun baru Hijriyah, yang dalam penanggalan Jawa biasa disebut Satu Suro, bagi sebagian masyarakat adalah saat nya melaksanakan tradisi khas adat Jawa yakni Ruwatan. Upacara ini diyakini bertujuan untuk membersihkan diri, terbebas dari segala macam kesialan hidup, nasib jelek dan bisa hidup selamat sejahtera serta bahagia.<br />

Dalam pemahaman Jawa Kuno, orang-orang yang termasuk tiga kelompok sukerto (insan), yakni sukerto karena kelahiran seperti anak tunggal atau kembar, sukerto karena berbuat kesalahan meski tidak sengaja dan sukerto karena dalam hidupnya terkena banyak musibah, sial, penyakit dan sering diancam bahaya perlu diruwat secara tradisional agar terbebas dari hukuman Betara Kala.  <br />

  Seperti yang terjadi di Anjungan D.I. Yogyakarta Taman Mini Indonesia Indah pada tanggal 1 Muharram 1435, puluhan sukerto dengan berbaju kain mori putih mengikuti upacara Ruwatan Bersama Gaya Yogyakarta. <br />

Upacara ruwatan sejatinya dimulai tujuh hari sebelum hari pelaksanaan, di mana para sukerto yang sudah dewasa dihimbau untuk melaksanakan laku tarak yaitu tidak memakan  daging , ikan dan telur (semua yang berjiwa).<br />

Prosesi penyucian jiwa yang dipimpin oleh seorang dalang tersebut dimulai dengan melakukan upacara kirab ruwatan, sungkeman kepada orang tua untuk meminta maaf atas segala kesalahan, menyaksikan pergelaran wayang kulit, injak bumbung, potong rambut dan diakhiri dengan acara siraman. <br />

<br />

<br />

Foto dan Teks: Widodo S. Jusuf

Lisensi

Pilih lisensi yang sesuai kebutuhan
Rp 3.000.000
Reguler
Editorial dan Online, 1024 px, 1 domain
Rp 7.500.000
Pameran dan Penerbitan
Pameran foto, Penerbitan dan Penggunaan Pribadi