ASA BARU EKS TKI DI KAMPUNG LOURDES

Rosa Panggabean

Tersebutlah sebuah kampung kecil yang terletak di Pulau Sebatik, Kalimantan Utara bernama Kampung Lourdes. Meski letaknya di Kalimantan, kita tidak akan menemui suku Dayak di kampung tersebut, namun justru kita akan temui orang-orang dari Indonesia Timur. Seluruh penduduknya merupakan eks TKI dan mayoritas berasal dari Flores, NTT dan sebagian kecil lagi berasal dari Sulawesi.

Orang-orang yang kini tinggal di Kampung Lourdes meninggalkan kampung halaman mereka di usia yang sangat muda, yaitu sekitar usia 15 hingga 18 tahun. Mereka mengadu nasib sebagai buruh kebun kelapa sawit, buruh pengilangan plywood, atau buruh kasar di kebun buah di negeri seberang Malaysia.

Rata-rata mereka datang melalui jalur ilegal tanpa ijin resmi sehingga orang-orang tersebut bermasalah dengan surat-surat keimigrasian dan dikejar-kejar polisi. Inilah yang membawa mereka ke Kampung Lourdes.

Pemandangan yang terlihat di Kampung Lourdes

Rata-rata rumah di Kampung Lourdes menggunakan kelambu untuk menghindari nyamuk yang ganas di Kampung Lourdes

Awalnya, seorang tua bernama Petrus Roga membuka lahan kecil dan bertahan hidup di lokasi tersebut pada tahun 1996. Menurut Petrus Roga, tak ada orang yang mau menempati daerah tersebut. Semua masih berupa hutan dengan pohon-pohon besar, nyamuk yang terkenal ganas sehingga menjadikan tempat tersebut epidemi malaria, dan masih banyak binatang buas yang berkeliaran. Karena Petrus Roga tidak mempunyai pilihan, ia kemudian mencoba bertahan hidup di lokasi tersebut. Terinspirasi dari sebuah kota kecil bernama Lourdes di Perancis, di mana ada seseorang yang pernah melihat Bunda Maria, Petrus Roga pun menamai kampung tersebut menjadi Kampung Lourdes yang artinya sunyi dan terpencil.

Kini kampung kecil yang belum genap berusia 20 tahun tersebut mulai menata diri. Tempat yang dahulu tidak dilirik orang kini sudah mencakup tiga rukun tetangga dengan jumlah penduduk mencapa 150 KK.

Para eks TKI itu kini menggarap lahan kebun sendiri. Sebagian besar mempunyai kebun sawit, ada pula pohon coklat, hingga buah-buahan. Meskipun demikian mereka tetap menjual hasil kebun mereka ke negeri seberang karena di wilayah mereka belum ada pabrik untuk mengolah sawit.

Maemunah, salah satu eks TKI asal Buton yang tinggal di Kampung Lourdes

Petrus Roga (kiri) dan Istrinya Theresia (kanan) merupakan pembuka lahan Kampung Lourdes

Kendala terbatasnya infrastruktur di perbatasan juga tampak dari sulitnya mereka mendapat air. Ketersediaan air di Kampung Lourdes masih mengandalkan tadah hujan.

Sementara itu listrik pun masih diusahakan secara swadaya. Bagi mereka yang mampu, mereka dapat membeli generator listrik, bagi yang tidak mampu, warga pun bertahan dengan lampu dengan daya surya. Walaupun begitu, Kampung Lourdes dengan harapan baru sebagai orang merdeka, tanpa gentar menatap masa depan, hidup dan berjuang di atas lahan sendiri.

Dua perempuan mengambil buah sukun untuk dimasak di Kampung Lourdes, Sebatik, Kalimantan Utara

Karena berbatasan langsung dengan Malaysia, berbagai barang produk negeri seberang mudah ditemukan di Kampung Lourdes

Sejumlah hewan peliharaan di Kampung Lourdes

Para tetangga saling menyapa di Kampung Lourdes

Anak-anak sekolah bermain di Kampung Lourdes

Warga berjalan menggunakan handuk, karena suhu di Kampung Lourdes sangat panas

Suasana Kampung Lourdes di Sebatik, Kalimantan Utara.

Foto & Teks: Rosa Panggabean

Lisensi

Pilih lisensi yang sesuai kebutuhan
Rp 3.000.000
Reguler
Editorial dan Online, 1024 px, 1 domain
Rp 7.500.000
Pameran dan Penerbitan
Pameran foto, Penerbitan dan Penggunaan Pribadi