PERJALANAN KE DESA ADAT WAEREBO

Muhammad Adimaja

Berkunjung ke Kabupaten Manggarai, NTT, selain melihat habitat binatang purba Komodo, tidak lengkap rasanya jika belum menginjakkan kaki di desa Waerebo, sebuah desa adat yang menyimpan sejarah budaya yang panjang, terletak di atas ketinggian 1200 Mdpl.

Lokasinya di lembah yang diapit beberapa punggungan membuat desa kecil itu menjadi indah dan menawan. Namun untuk mencapai desa itu tidak mudah, wisatawan harus mendaki membelah hutan sejauh 7 km selama kurang lebih 4 jam.

Setelah melakukan perjalanan panjang wisatawan akan sampai di pos tiga yang bernama Ponto Nao, dari pos ini mulai terlihat dari kejauhan bangunan rumah adat dari kayu beratap rumbia berbentuk kerucut yang disebut Mbaru Niang. Wisatawan wajib membunyikan kentungan sebagai tanda bahwa akan ada tamu yang datang.

Bunga Edelweiss (Anaphalis javanica) terlihat di pos dua jalur pendakian menuju desa Waerebo.

Wisatawan membunyikan suara kentungan di pos tiga sebagai tanda bahwa akan ada tamu yang datang ke desa Waerebo.

Rumah adat yang terdiri dari tujuh bangunan yang terbagi menjadi dua bagian yaitu rumah utama atau rumah gendang yang berfungsi sebagai tempat musyawarah adat, dan enam rumah pendamping atau Mbaru Gena, terdiri dari Mandok, Jintam, Ndorom, Jekong, dan Mbaru Gena Maro yang menjadi rumah bagi tamu yang berkunjung.

Wisatawan atau tamu yang berkunjung disambut upacara adat Pa'u Wae Lu'u yang bertujuan meminta izin dan perlindungan kepada roh leluhur terhadap tamu hingga meninggalkan kampung tersebut. Menurut Ketua adat, leluhur mereka berasal dari Minangkabau, Sumatera Barat yang merantau hingga ke lembah Waerebo, yang saat ini merupakan generasi ke-19.

Di desa tersebut wisatawan dapat bermalam dengan biaya Rp325.000 per malam, uangnya digunakan untuk keperluan makan, pemeliharaan infrastruktur kampung, bahan bakar generator set dan sumber air.

Wisatawan tiba di desa adat Waerebo untuk mengikuti upacara adat.

Tetua Adat Waerebo melakukan ritual adat menyambut pergantian musim hujan menuju musim kemarau yang disebut upacara adat Kasawiang.

Penduduknya juga mengembangkan komoditas kopi sebagai mata pencahariannya, kopi jenis Arabica merupakan produk unggulan karena aroma dan cita rasa yang khas, wisatawan dapat mencicipi kopi khas Waerebo dengan membeli langsung dari penduduk dengan harga Rp80.000 – Rp200.000 per kilogram.

Itulah Waerebo, desa dengan keindahan alamnya yang mempesona serta keramahan penduduknya, yang akan selalu menjunjung tinggi nilai budaya leluhur mereka secara turun temurun, kearifan budaya lokal akan terus dipertahankan di setiap generasinya.

Maka pada tahun 2012 UNESCO menetapkan desa dengan bangunan adat tersebut sebagai warisan budaya dunia karena keberhasilannya “mengayomi isu-isu konservasi dalam cakupan yang luas di tataran lokal”.

Tetua Adat Waerebo melakukan ritual adat menyambut pergantian musim hujan menuju musim kemarau yang disebut upacara adat Kasawiang.

Seekor anjing berada di atas altar yang disucikan yang disebut Compang.

Sejumlah perempuan desa adat Waerebo memasak untuk para tamu wisatawan yang datang berkunjung ke desa tersebut.

Senja di desa adat Waerebo.

Warga mengayak kopi yang merupakan hasil perkebunan masyarakat di desa adat Waerebo.

Ketua Adat Waerebo Alexander Ngarus berpose dengan latar belakang rumah utama yang disebut Rumah Gendang.

Seorang bocah bersama orang tuanya berada di dalam rumahnya yang disebut Mbaru Gena.

Bangunan rumah desa adat Waerebo yang disebut Mbaru Niang, Rumah Gendang atau rumah utama (kanan) dan tiga Mbaru Gena atau rumah pendamping.

Tujuh bangunan rumah desa adat Waerebo yang disebut Mbaru Niang.

Foto dan Teks: Muhammad Adimaja

Lisensi

Pilih lisensi yang sesuai kebutuhan
Rp 3.000.000
Reguler
Editorial dan Online, 1024 px, 1 domain
Rp 7.500.000
Pameran dan Penerbitan
Pameran foto, Penerbitan dan Penggunaan Pribadi