HARMONI DALAM PERBEDAAN

Mohammad Ayudha

"Mbuh kui langgar mbuh kui salib kabeh dadi siji urip kudu rukun" (entah itu mushola, entah itu salib semua menjadi satu hidup harus rukun), sebuah penggalan kalimat yang diucapkan pemuka agama Islam dalam sebuah tradisi adat warga kampung setempat yaitu Nyadran.

Tradisi yang telah berlangsung turun-menurun menyambut Ramadan itu dimaknai dengan acara makan bersama seluruh warga kampung di area pemakaman. Nyadran merupakan bentuk hubungan manusia dengan leluhur selain itu sebagai wujud silaturahmi antar warga kampung.

Suasana pagi kampung yang terletak di antara kaki gunung Merapi dan Merbabu itu nampak ramai warga berduyun-duyun membawa tenong atau tudung saji yang berisi makanan menuju area pemakaman setempat. Mereka yang datang mengikuti tradisi Nyadran tidak hanya warga Muslim saja namun warga yang beragama Kristen pun mengikuti tradisi tersebut semua membaur menjadi satu menciptakan harmonisasi yang indah. Suasana hangat dan damai lekat dengan warga kampung tersebut mereka tidak pernah membedakan suku, ras, agama dan golongan mereka menganggap semua sama makluk adalah ciptaan Tuhan.

Warga membawa tenong atau tudung saji makanan saat mengikuti tradisi Nyadran di Desa Sido Rejo, Cepogo, Boyolali.

Suparno warga beragama Kristen membawa tenong atau tudung saji saat mengikuti tradisi Nyadran di Desa Sido Rejo, Cepogo, Boyolali.

Suasana hening saat acara doa bersama dimulai, doa mereka panjatkan untuk leluhur dan keluarga yang telah meninggal dan juga untuk keselamatan, kesehatan dan kebahagiaan seluruh warga kampung. Suasana kembali riuh usai doa, itu tanda warga mulai membuka tenong dan makan bersama hanya ada canda dan gelak tawa tak ada perbedaan yang terasa semua membaur menjadi satu warga kampung Sido Rejo.

Kampung Sido Rejo dihuni 80 kepala keluarga yang mayoritas beragama Islam dengan 10 warga beragama Kristen mereka hidup berdampingan menjunjung toleransi dan menghormati perbedaan. Bentuk toleransi warga tidak hanya dalam sebuah upacara tradisi kampung saja namun juga dalam kehidupan sehari-hari, hidup gotong royong dan saling membantu satu sama lain adalah ciri warga yang hidup bertetangga.

Baik warga Muslim maupun Kristen di kampung Sido Rejo tidak pernah mempermasalahkan kepercayaan karena itu hubungan manusia dengan Tuhan. Agama mengajarkan mereka bahwa antar manusia itu harus saling menghormati dan menghargai, begitu pula Negara yang mengajarkan pentingnya menjaga persatuan dan kesatuan bangsa meskipun berbeda-beda.

Warga berkumpul di area pemakaman saat mengikuti tradisi Nyadran di Desa Sido Rejo, Cepogo, Boyolali.

Warga bercanda saat mengikuti tradisi Nyadran di Desa Sido Rejo, Cepogo, Boyolali.

Warga kampung Sido Rejo berharap harmonisasi keberagaman mereka dapat terjaga hingga diteruskan sampai generasi berikutnya tidak ada jarak tidak ada perselisihan yang ada hanya keselarasan untuk menciptakan indahnya perbedaan. Seperti kutipan kalimat dari Presiden keempat Indonesia KH. Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, "Tidak penting apapun agamamu atau sukumu, kalau kamu bisa melakukan sesuatu yang baik untuk semua orang, orang tidak pernah tanya apa agamamu".

Warga bercanda saat mengikuti tradisi Nyadran di Desa Sido Rejo, Cepogo, Boyolali.

Suparno warga beragama Kristen menyalami warga yang bersilaturahmi ke rumahnya saat tradisi Nyadran di Desa Sido Rejo, Cepogo, Boyolali.

Suasana area pemakaman di Desa Sido Rejo, Cepogo, Boyolali.

Warga melaksanakan salat magrib di musala Desa Sido Rejo, Cepogo, Boyolali.

Foto dan Teks: Mohammad Ayudha

Lisensi

Pilih lisensi yang sesuai kebutuhan
Rp 3.000.000
Reguler
Editorial dan Online, 1024 px, 1 domain
Rp 7.500.000
Pameran dan Penerbitan
Pameran foto, Penerbitan dan Penggunaan Pribadi