JALAN DAMAI SI PERISAI HIDUP

Wahdi Septiawan

Di jantung Hutan Harapan, Kabupaten Batanghari, Provinsi Jambi, Januardi (40) dan Saleksa (26) memulai pagi dari balik jendela kayu. Keduanya menerawang langit, bergumam soal jalan damainya di rimbun rimba. Langkah-langkah kecil yang mereka rintis sebagai anggota tim pemonitoran gajah di koridor hutan dataran rendah Jambi-Sumatera Selatan itu masih memerlukan lebih banyak tapak. 

“Kelompok gajah ini kelak akan bisa hidup berdampingan dengan kita. Tak perlu sertifikat keahlian atau gelar akademis, kita manusia hanya perlu memberikan pemakluman. Melindungi ruang hidupnya yang semakin sempit,” kata Janu, begitu Januardi biasa disapa.

Janu meyakini, satwa berbelalai yang dikenal memiliki daya ingat kuat itu bisa lebih mudah diarahkan, ketimbang manusia. Apalagi, jelajah gajah cenderung hanya melewati jalan yang “itu-itu saja” selama bertahun-tahun. Namun sayang, konflik sering kali terjadi justru karena campur tangan manusia, salah satunya saat ketersediaan sumber daya alam di jalur atau koridor gajah berubah. 

Januardi (kiri) dan Seleksa (kanan) di Pos Meranti, Musi Banyuasin, Sumatera Selatan.

Foto kolase Januardi (kiri) menunjukkan peta koridor gajah dan peralatan (kanan) yang dibawa untuk pemonitoran gajah di Musi Banyuasin, Sumatera Selatan.

Hutan Harapan dengan luas 98.555 hektare yang dikelola PT Restorasi Ekosistem Indonesia (REKI) merupakan rumah bagi delapan ekor gajah sumatra (elephas maximus Sumatranus) dan sekaligus perlintasan satwa payung lain seperti harimau dan beruang madu. Koridor gajah Hutan Harapan bertalian dengan kawasan perkebunan milik beberapa perusahaan dan warga yang setiap menitnya terus mendapatkan ancaman konversi hutan, lahan, dan praktik tambang ilegal. Laju ancaman yang coba diredam oleh langkah-langkah kecil Janu dan Saleksa.

Dua laki-laki itu bertugas memastikan jalan gajah di koridornya tidak terganggu. Termasuk, kebersihan jalur mata air yang menjadi nadi keberlangsungan hidup semua satwa di alam bebas.

Selain itu, mereka juga bertanggung jawab melakukan pendekatan damai kepada warga yang kadang “tiba-tiba” berkebun atau bermukim di dalam kawasan terlarang. Sepeda motor dengan ban khusus yang biasa dikendarai Janu dan Saleksa untuk berpatroli acap kali tak sampai ke tujuan. Beratnya medan dan lebatnya hutan memaksa mereka harus berjalan kaki hingga puluhan kilometer. Sesekali, bahkan mereka harus mendirikan tenda untuk bermalam.

Januardi (kiri) dan Seleksa (kanan) melintasi jembatan kayu saat pemonitoran gajah di Musi Banyuasin, Sumatera Selatan.

Januardi (kiri) dan Seleksa (kanan) berjalan melintasi hutan bambu saat pemonitoran gajah di Musi Banyuasin, Sumatera Selatan.

Menurut Janu, membawa alat komunikasi, GPS, parang, dan petasan merupakan perangkat wajib tambahan yang turut mereka selipkan di antara bawaan logistik, obat-obatan, makanan, dan lainnya. “Semuanya alat pengaman diri. Termasuk petasan. Itu bisa diletuskan ke udara untuk menghalau satwa yang menyerang atau keluar koridor,” katanya. Namun berdasarkan pengalamannya, ancaman tersulit yang pernah dia alami justru datang dari luar, yakni mendinginkan kemarahan warga yang kebunnya “tiba-tiba” berada di koridor gajah atau adanya ranjau paku dan jerat.

Bagi gajah, ranjau paku adalah ancaman serius. Kaki mamalia besar itu bisa terluka dan terinfeksi parah. “Ancaman perburuan masih ditemukan di koridor. Tidak hanya gajah, kaki-kaki tim monitoring ini juga bisa saja terjerat. Keji sekali,” katanya.

Saat ini, Hutan Harapan memiliki enam ekor gajah Sumatra betina dan dua ekor gajah Sumatra jantan. Dua ekor gajah jantan didatangkan dari lanskap Bukit Tigapuluh dengan tujuan regenerasi. Kedua gajah itu didatangkan terpisah, yakni pada 2014 dan 2018. Hutan Harapan dipilih karena memiliki tutupan hutan yang terbilang cukup baik dan pakan alami yang memadai.

Januardi (kiri) dan Seleksa (kedua kiri) berbincang dengan warga Batin Sembilan saat pemonitoran gajah di Musi Banyuasin, Sumatera Selatan.

Januardi (tengah) dan Seleksa (kanan) mendampingi Irfan Nurarifin (kiri) memasang kamera jebak saat pemonitoran gajah di Batanghari, Jambi.

Pemonitoran rutin yang dilakukan Janu dan kawan-kawan dengan menyisiri jalan hutan dan perkebunan diharapkan bisa mengantisipasi konflik antara gajah dengan manusia. Langkah kecil mereka memerlukan lebih banyak dukungan dari berbagai pihak, termasuk pemakluman manusia.

Kamera jebak terpasang di salah satu pohon saat pemonitoran gajah di Batanghari, Jambi.

Seekor gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus) melintas di kawasan penyangga Hutan Harapan, Sarolangun, Jambi.

Januardi menunjukkan temuan ranjau paku saat pemonitoran gajah di Sarolangun, Jambi.

Januardi (kiri) dan Seleksa (kanan) memeriksa temuan pohon kelapa yang patah karena dilewati gajah saat pemonitoran gajah di Sarolangun, Jambi.

Januardi (kiri) dan Seleksa (kanan) menandai temuan jejak gajah saat pemonitoran gajah di Batanghari, Jambi.

Januardi (kiri) dan Seleksa (kanan) duduk di depan tenda saat pemonitoran gajah di Musi Banyuasin, Sumatera Selatan.

Foto dan teks : Wahdi Septiawan

Editor : R Rekotomo

Lisensi

Pilih lisensi yang sesuai kebutuhan
Rp 3.000.000
Reguler
Editorial dan Online, 1024 px, 1 domain
Rp 7.500.000
Pameran dan Penerbitan
Pameran foto, Penerbitan dan Penggunaan Pribadi