DARI POHON GAMBIR KE KAIN GAMBO MUBA

Feny Selly

Babat Toman merupakan daerah di Kabupaten Musi Banyuasin Sumatera Selatan, di mana tanaman gambir (Uncaria gambir Roxb) tumbuh subur dan diberdayakan masyarakatnya. Masyarakat di Babat toman sejak berabad-abad lalu telah membudidayakan tanaman yang tidak dapat dipisahkan dari budaya menginang dan menyirih ini.

Gambir sendiri adalah tanaman yang disebut spesifik lokasi karena tumbuh dan berproduksi tinggi di wilayah tertentu, termasuk Desa Toman, Kecamatan Babat Toman. Desa ini merupakan salah satu lokasi di mana tanaman gambir dapat tumbuh dan menghasilkan getah dibandingkan dari lokasi lain yang ada di daerah Sumatera Selatan.

Konon tanah desa ini memiliki pengaruh besar dalam tumbuh subur dan kayanya getah tanaman perdu setengah merambat ini. Petani di Desa Toman pada umumnya menanam gambir secara monokultur maupun polikultur. Namun, kebanyakan tanaman gambir dijadikan sebagai tanaman sela karet.

Petani memotong batang pohon gambir yang dipilih untuk digunakan sebagai pewarna alami di kebun gambir.

Pekerja menggiling tanaman gambir di Rumah Produksi Gambir.

Hal tersebut disebabkan tanaman karet merupakan tanaman yang turun menurun menjadi sumber utama pendapatan petani sejak dahulu sampai sekarang. Meskipun petani di Desa Toman sudah terbiasa membudidayakan tanaman gambir dan karet, namun produktivitas dari tanaman tersebut tergolong belum maksimal.

Selain itu juga tanaman yang menjadi olahan masyarakat Desa Toman secara turun temurun ini memiliki manfaat sebagai bahan kosmetika, obat-obatan, bahkan menjadi pewarna alami bagi kain. Selama lima tahun terakhir, pewarna alami untuk kain dari gambir telah dikembangkan di Kabupaten Musi Banyuasin (Muba) menjadi selembar kain bernilai tinggi yang dinamai Gambo Muba.

Gambo Muba adalah produk kain dengan teknik ikat jumputan yang pewarnaannya menggunakan limbah getah gambir. Gambo Muba tercipta berawal dari lima orang pemuda: Kia Parkia Sentosa, Andi Anwar, Lendra Prima, Eko Azis Santoso dan Husni Thamrin dari dinas setempat yang diutus pemerintah daerah untuk belajar mengembangkan pewarna alami dari ahlinya Hendri Suprapto yang merupakan konsultan pewarna alami batik dari Yogyakarta.

Pekerja memeras gambir yang telah direbus dengan alat peras tradisional untuk mendapatkan cairan dan getahnya.

Pekerja mengambil air gambir yang telah diperas untuk disaring dan mendapatkan cairan dan getahnya.

Hendri menekankan tumbuhan asli pada dasarnya memiliki sifat sebagai pewarna bila dicampur dengan senyawa lain yang sifatnya berbeda. Dari sanalah tercetus tanaman gambir menjadi tanaman potensial sebagai pewarna alami.

Setelah melalui berbagai "trial dan error", akhirnya ditemukan sejumlah formulasi dalam pewarnaan gambir. Warna yang dihasilkan dari limbah sisa getah gambir ini ternyata mampu menghasilkan warna coklat, hitam, kuning, kehijauan yang sangat menawan dan alami.

Kain Viscose dan Sutra diketahui sebagai kain yang mampu mengikat warna cantik dengan sangat maksimal dan eksotik. Warna yang khas dan alami membuat jumputan yang dicelup dengan cairan gambir menjadi cantik dan sangat khas.

Salah seorang pemuda Andi Anwar menunjukkan air celupan pewarna alami dari limbah gambir sebagai celupan pewarna dalam wadah gelas (kiri ke kanan) : tanpa campuran, berwarna kehijauan, berwarna kemerahan, berwarna kehitaman di sela edukasi Gambo Muba.

Perajin mengikat kain jumputan untuk dibuat kain Gambo Muba.

Bahan pewarna gambir juga terbukti menyerap hingga ke dasar kain sehingga warna kain awet dan tidak luntur meski tidak mengandung bahan kimia. Untuk ini Gambo Muba disebut sebagai produk yang eco fashion dan menjawab kegundahan industri tekstil dari permasalahan limbah kimia dari pewarna.

Sambutan kain bepewarna gambir dengan teknik jumputan ini sangat bagus di berbagai pameran kriya. Pemerintah Kabupaten Muba lewat dinas terkait dan TP PKK juga memberikan perhatian penuh dengan produk Gambo Muba. Untuk mengembangkan produksi, baru baru ini Pemerintah Kabupaten Muba mengembangkan sentra produksi Gambo Muba di Desa Ulak Teberau Kecamatan Lawang Wetan.

Sebanyak 108 perajin pengikat kain jumputan diberdayakan di desa tersebut. Sementara untuk pewarnaan dilakukan di sejumlah lokasi pencelup di Desa Toman dan Kota Sekayu.

Pekerja menjemur kain Gambo Muba setelah melalui pencelupan pertama.

Pekerja melakukan proses pencelupan kain Gambo Muba.

Penetapan desa ini sebagai kawasan sentra produksi ditujukan untuk merespon tingginya permintaan Gambo Muba. Di masa pandemi, produksi masker kain berbahan jumputan Gambo Muba juga cukup tinggi.

Pemkab Muba juga mendorong pemasaran produk ini dengan menggandeng perusahaan furnitur Savana Furniture. Selama beberapa tahun terakhir kualitas produk dan pemasaran pun ditingkatkan.

Dampaknya, kain cantik ini memberikan kontribusi yang tinggi pada petani gambir di kabupaten ini, menyokong perekonomian warga desa Toman dan Ulak Teberau sekaligus mengangkat kearifan lokal dalam selembar kain bernama Gambo Muba.

Perajin membentangkan kain Gambo Muba yang telah dibuka ikatannya.

Sejumlah peragawati mengenakan busana berbahan kain jumputan Gambo Muba pada gelaran Palembang Fashion Festival.

Pekerja menunjukkan Tag Merk kain Gambo Muba yang dipajang di Kriya Sumsel untuk ditawarkan pada wisatawan dan tamu daerah.

Pengunjung mengenakan masker berbahan kain jumputan Gambo Muba.

Foto dan Teks: Feny Selly

Editor: Widodo S Jusuf

Lisensi

Pilih lisensi yang sesuai kebutuhan
Rp 3.000.000
Reguler
Editorial dan Online, 1024 px, 1 domain
Rp 7.500.000
Pameran dan Penerbitan
Pameran foto, Penerbitan dan Penggunaan Pribadi