TARUHAN NYAWA PARA ROHINGYA DEMI HIDUP BARU

Nova Wahyudi

Lelah, lapar, dehidrasi hingga harus mengorbankan nyawa, sepertinya menjadi pilihan terakhir para imigran etnis Rohingya asal Myanmar. Mereka rela membelah lautan menempuh ratusan mil laut, hanya untuk sampai ke tanah persinggahan, tempat yang dirasa pantas untuk mendapatkan hidup yang lebih baik lagi.

Senin (26/12/2022) sekitar pukul 17.10 WIB, 174 orang imigran etnis Rohingnya terdampar di Pantai Ujong Pie, Muara Tiga, Kabupaten Pidie, Aceh. Mereka nekat berlayar dengan kapal kayu seadanya, dari camp Cox’s Bazar Banglades menuju ke Aceh.

Tanpa alat keselamatan, mereka berdesak-desakan, terombang-ambing di lautan berminggu-minggu, hingga kelaparan karena stok makanan yang habis di tengah jalan. Akibatnya 26 orang penumpang menghembuskan nafas terakhir di tengah lautan, karena tak kuat menghadapi ganasnya lautan Andaman dan Teluk Benggala.

Zaidurohma (12) berpose tanpa kedua orang tuanya yang terpisah di pengungsian Bangladesh

Hasina Bekum (20), Muhammad Umur Faruq (9) berpose tanpa suaminya yang berada di Malaysia

Jika di tahun sebelumnya, mereka ditemukan di tengah lautan. Kali ini ‘manusia perahu’ ini sudah berlabuh di daratan Tanah Rencong. Dan mereka terus berdatangan ke Aceh secara bertahap. Kondisinya sungguh memprihatinkan, mereka kelelahan, kelaparan, dehidrasi dan harus mendapatkan perawatan medis segera.

Sehari sebelumnya, Minggu (25/12/2022), 57 orang pria imigran etnis Rohingya juga terdampar di Pantai Indra Patra, Gampong Ladong, Kecamatan Mesjid Raya, Kabupaten Aceh Besar, Aceh. Saat ini, mereka ditampung di Rumoh Seujahtera milik Dinas Sosial Aceh Besar.

Badan Pengungsi PBB untuk pengungsi United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR) mencatat ada 15.000 orang imigran etnis Rohingya yang terdaftar di Indonesia, 27 persennya adalah anak. Sebanyak 89 anak- anak datang sendiri atau terpisah dari keluarga mereka.

Hatimun Nese (25) dan anaknya Ummu Salimah (6) berpose tanpa suaminya yang meninggal di laut saat perjalanan dari Bangladesh menuju Aceh, Indonesia.

Arrafa (20) memangku anaknya Rukiah (2) berpose tanpa suaminya yang terpisah di Malaysia

Sepanjang 2022 sekitar 3.500 orang imigran Rohingya menempuh perjalanan berbahaya di Laut Andaman dan Teluk Benggala menuju negara persinggahan, dan 348 orang meninggal di laut.

Tahun 2022 merupakan salah satu tahun terburuk dengan jumlah korban meninggal dan hilang terbesar, setelah tahun 2013 dan 2014. Sekitar 900 orang warga Rohingya tewas di 2013, 700 orang lainnya di 2014 wafat atau hilang di Laut Andaman dan Teluk Benggala.

Polda Aceh mencatat, sebanyak 664 orang imigran etnis Rohingya terdampar di Aceh sepanjang 2022 dan 117 orang imigran etnis Rohingya kabur dari tempat penampungan di Aceh menuju negara yang menjadi tujuan utama mereka.

Hasinah (16) berpose tanpa suaminya yang terpisah di Malaysia

Asma (18), Muhammad Rehan (1) berpose tanpa suaminya yang berada di Malaysia

Menteri Luar Negeri Retno Marsudi mengatakan penyelesaian masalah pengungsi Rohingya menjadi semakin sulit dengan adanya krisis politik di Myanmar saat ini.

"Rohingya tidak akan dapat diselesaikan jika akar masalah di Myanmar tidak diselesaikan", kata Retno,

Kemenlu menduga Rohingya yang datang ke Aceh terlibat dalam sindikat Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) yang diatur dengan skenario oleh pihak-pihak tertentu untuk berlayar mencari negara tujuan. Sedangkan, Indonesia dalam hal ini adalah negara transit, dan bukan negara tujuan utama.

Muhammad Nur (12) berpose tanpa kedua orang tuanya yang terpisah di pengungsian Bangladesh

Penyelundupan manusia adalah kejahatan yang harus dihentikan dan memerlukan kerja sama tingkat internasional. Indonesia sendiri tidak bisa memberi suaka bagi para pengungsi Rohingya karena belum meratifikasi Konvensi Pengungsi 1951.